Jumat, 21 September 2018

Makalah Ushul Fiqh SYAR’U MAN QOBLANA

BAB I
PENDAHULUAN

A.             Latar Belakang
Sebelum datangnya agama Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW, terlebih dahulu datang agama-agama lain yang bibawa oleh nabi-nabi sebelumnya, seperti nabi Ibrahim, nabi Daud, nabi Musa dan nabi Isa beserta syari’at atau hukum-hukum yang mengatur kehidupan pada masa itu.
Telah diketahui bahwa syar’u man qablana adalah salah satu dari sekian banyak metode istinbat (penggalian) hukum Islam, walaupun tampak adanya warna-warna yang mengindikasikan syar’u man qablana hanya sebagai penguat teks-teks keagamaan dan bukan dijadikan sebagai petunjuk untuk menggali hukum, namun seringkali ia tetap dijadikan sebagai metode. Berkaitan dengan hal tersebut, para ahli ushul al-fiqh menggunakan syar’u man qablana untuk membedakan antara syari’at atau hukum sebelum Nabi Muhammad menjadi seorang rasul dan hukum di saat ia diutus sebagai rasul. Namun demikian, tampaknya para ahli uhsul al-fiqh memiliki perspektif yang berbeda dalam memandang syar’u man qablana. Perbedaan tersebut tampak ketika mereka membahas keterikatan Nabi Muhammad setelah menjadi Nabi dan pengikutnya terhadap syari’at-syari’at sebelumnya.
Sumber dan dalil hukum Islam dikelompokkan menjadi dua yaitu yang disepakati dan yang masih dipeselisihkan oleh para ulama. Adapun yang telah disepakati adalah Al -Quran dan Sunnah, serta Ijma’ dan Qiyas (aplikasi keduanya tetap berpedoman pada Al-Quran dan Sunnah). Sedangkan 7 dalil hukum islam yang masih menjadi perselisihan antar ulama yaitu: Marsalah Mursalah, Istihsan, Saddus Zari’ah, ‘Urf, Istishab, Mazhab Shahabi, dan Syar’u Man Qablana.

B.        Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Syar’u man qoblana?
2. Bagaimana bentuk dan hukum yang berlaku bagi syar’u man qoblana?
3. Bagaimana kita harus menyikapi hal tersebut?


BAB I
PEMBAHASAN


A.           Pengertian Syar’u Man Qablana
Secara etimologis, syar’u man qablana adalah hukum-hukum yang disyariatkan oleh Allah SWT, bagi umat-umat sebelum kita. Secara istilah, syar’u man qablana yaitu syari’at atau ajaran nabi-nabi sebelum Islam yang berhubungan dengan hukum, seperti syari’at nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa. Apakah syariat-syariat yang diturunkan kepada mereka itu berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad Saw.
Para ulama ushul Fiqih sepakat bahwa syariat para Nabi terdahulu yang tidak tercantum dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw, tidak berlaku lagi bagi umat Islam. Karena kedatangan syariat Islam telah mengakhiri berlakunya syariat terdahulu. Para ulama juga sepakat bahwa syariat sebelum Islam yang dicantumkan dalam al-Quran adalah berlaku bagi umat jika ada ketegasan bahwa syariat itu berlaku bagi umat Nabi Muhammad Saw.  Dasar pendapat mereka ialah :
a.    Firman Allah pada surat al –an’am ayat 90 :
y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# yyd ª!$# ( ãNßg1yßgÎ6sù ÷nÏtFø%$# 3 @è% Hw öNä3è=t«ór& Ïmøn=tã #·ô_r& ( ÷bÎ) uqèd žwÎ) 3tø.ÏŒ šúüÏJn=»yèù=Ï9 ÇÒÉÈ  
Artinya : mereka Itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, Maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Quran)." Al-Quran itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh ummat.
b.    Firman Allah pada surat an –nahl  ayat  123: 
§NèO !$uZøŠym÷rr& y7øs9Î) Èbr& ôìÎ7¨?$# s'©#ÏB zOŠÏdºtö/Î) $ZÿÏZym ( $tBur tb%x. z`ÏB tûüÅ2ÎŽô³ßJø9$# ÇÊËÌÈ  
Artinya : Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah Dia Termasuk orang-orang yang mempersekutukan tuhan.
Sedangkan  para ulma ushul fiqih sepakat bahwa syri’at sebelum kita (Islam) yang dicantumkan  didalam al-qur’an  adalah berlaku bagi umat islam  apabila ada ketegasan  bahwa Syari’at  itu berlaku bagi umat  nabi Muhammad  SAW.  Namun karena  berlakunya  itu bukan  karena  kedudukannya  sebagai syari’at  sebelum  Islam tetapi karena ditetapkan  dalam al-qur’an. Misalnya puasa ramadhan yang diwajibkan kepada umat islam adalah syari’at sebelum islam.
B.        Ibadah Nabi Muhammad Sebelum Diutus
Terkait dengan ketika nabi belum mendapat kitab Al-Quran, beliau beribadah mengikut syari’at siapa, maka ulama berbeda pendapat, ada yang mengatakan bahwa beliau sebelum diutus mengikuti mengikuti syari’at nabi sebelumnya, yaitu sebagian kalangan Malikiyah, penetap ini masih berbeda juga dalam menentukan syari’at yang diikuti beliau tersebut.
a.                   Syari’at Nabi Adam AS sebagai syariat pertama.
b.                  Syari’at Nabi Nuh AS, dengan landasan firman Allah :
شرع لكم من الدين ما وصى به نوحا
c.                   Syari’at Nabi Ibrahim AS dengan dua firman Allah :
إن أولى الناس أولى الناس بابراهيم للذين اتبعوه وهذا النبي" أن اتبع ملة إبراهيم حنيفا
d.                  Syari’at Nabi Musa AS.
e.                   Syari’at Nabi Isa AS, dengan alasan bahwa Nabi Isa adalah nabi yang jarak terutusnya paling dekat dengan Nabi Muhammad.

     Dan dari sekian pendapat di atas Imam Syaukani mengatakan bahwa yang lebih mendekati kebenaran adalah yang mengatakan bahwa Nabi SAW megikuti syariat Nabi Ibrahim AS, ada juga yang mengatakan bahwa sebelum terutus beliau tidak mengikuti syariat siapapun, ini menurut sebagian kalangan Hanafiyah, Hanabbilah, Ibnu Hajib dan al-Baidhowi. Dan ada sebagian lain yang tidak mau komentar, seperti al-Amudi, Qadi abdul Jabbar dan al-Ghazali, mereka berpandangan bahwa beliau memang bersyariat, namun mungkin tanpa mengikuti syariat Nabi sebelumnya. Al-Qodhy. mengatakan bahwa ulama Mutakallimin telah sampai pada sebuah kesimpulan bahwa Nabi Muhammad SAW sebelum terutus tidak mengikuti syariat siapapun. Golongan Mu’tazilah juga mengatakan bahwa secara akal dapat tergambar dibenak kita bahwa Nabi mengikuti syariat nabi-nabi sebelumnya namun mustahil secara kenyataan.

C.        Hakikat Syar’u Man Qablana
Istilah syar’u man qablana lebih berorientasi untuk menunjukkan adanya syari’at-syari’at sebelum Islam sebagai agama ketika dilahirkan. Imam al-Ghazali mengatakan bahwa hakikat syar’u man qablana pada intinya adalah adanya upaya dalam memahami syari’at-syari'at terdahulu sebelum syari’at Nabi Muhammad (Islam). Khallaf menyebutkan bahwa sya’u man qablana adalah berhubungan dengan “mâ syara‘aha Allah liman sabaqana min al-umam” (syari’at yang telah diturunkan Tuhan kepada orang-orang yang telah mendahului kita (hukum-hukum para Nabi terdahulu).
Berkaitan dengan posisi syar’u man qablana, Zuhaili menyatakan bahwa dengan diutusnya Muhammad sebagai nabi pada tahun 611 Masehi, maka sejak itu pula bahwa syari’at Nabi Muhammad adalah penutup segala syari’at yang diturunkan Tuhan. Kendati demikian, Zuhaili juga mengatakan bahwa keadaan seperti itu masih menimbulkan berbagai pertanyaan di kalangan para ahli usul al-fiqh, khususnya berkaitan dengan keterikatan Nabi Muhammad secara pribadi dengan syari’at sebelumnya dan sesudah ia menjadi Nabi, termasuk pula di dalamnya pengikut-pengikut Nabi Muhammad sampai sekarang.

D.        Macam-macam syar’u Man Qoblana
Syar’u Man Qablana dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan Sunnah. Ulama’ sepakat bahwa macam pertama ini jelas tidak termasuk syariat kita. Kedua, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun disebutkan dalam al-Qur’an dan Sunnah.  Pembagian kedua ini diklasifikasi menjadi tiga.
Dinasakh syariat kita (syariat islam). Tidak termasuk syariat kita menurut kesepakatan semua ulama. Contoh : Pada syari’at nabi Musa As. Pakaian yang terkena najis tidak suci. Kecuali dipotong apa yang kena najis itu. 
1.      Dianggap syariat kita melalui al-Qur’an dan al-Sunnah. Ini termasuk syariat kita atas kesepakatan ulama. Contoh : Perintah menjalankan puasa. 
2.      Tidak ada penegasan dari syariat kita apakah dinasakh atau dianggap sebagai syariat kita. Pembagian ketiga inilah yang menjadi inti pokok pembahasan dalil syara’ ini (Syar’u Man Qablana) : 
a.       Yang diberitakan kepada kita baik melalui al-Qur’an atau as-Sunnah, tetapi tidak tegas diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada umat sebelum kita.
b.      Yang tidak disebut-sebut oleh syari’at kita.

Ada beberapa dalil yang dibuat tendensi mereka, para ulama’ yang menganggap bahwasyariat umat sebelum kita adalah syariat kita : 
1.                   Syariat umat sebelum kita adalah syariat Allah yang tidak ditegaskan kalau saja telah dinasakh, karena itu kita dituntut mengikutinya serta mengamalkan berdasarkan firman Allah dalam suratal-An’am ayat 90, al-Nahl ayat 123, dan surat al-Syura ayat, 13. Disebutkan juga bahwa Ibnu Abbas pernah melakukan Sujud Tilawah ketika membaca salah satu ayat al-Quran dalam surat shod (ص) ayat 24.
2.                  Kewajiban menqadho’i shalat Fardhu berdasarkan hadis nabi ”Barangsiapa yang tertidur atau lupa melakukan shalat maka Qadho’ilah kalau nanti sudah ingat” dan ayat ”Kerjakanlah shalat untuk mengingatku” yang disebutkan oleh Nabi secara berurutan dengan hadis di atas. Ayat ini ditujukan pada Nabi Musa AS, karena itu seandainya Nabi tidak dituntut untuk mengikuti syariat Nabi sebelumnya niscaya penyebutan ayat di atas tidak dapat memberikan faidah. 
3.                  Para ulama berbeda pendapat tentang hukum-hukum syariat nabi terdahulu yang tercantum dalam al-Quran, tetapi tidak ada ketegasan bahwa hukum-hukum itu masih berlaku bagi umat Islam dan tidak ada pula penjelasan yang membatalkannya. 
Misal: hukuman qishahs dalam syariat Nabi Musa dalam QS. Al-Maidah: 45

وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالأنْفَ بِالأنْفِ وَالأذُنَ بِالأذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ 

Dari sekian banyak bentuk qishash dalam ayat tsb, yang ada ketegasan berlakunya bagi umat Islam hanyalah qishash karena pembunuhan. QS. Al-Baqarah: 178


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأنْثَى بِالأنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
 

Ada empat dalil yang juga dipakai oleh mereka yang mengingkari syariat umat sebelum kita sebagai syariat kita, yaitu :
1.      Ketika Nabi mengutus Muadz Bin Jabal ke Yaman beliau menanyainya tentang apa yang akan Muadz jadikan dalil ketika mau menghukumi suatu masalah. Sahabat Muadz menjawab “aku akan memakai al-Quran dan hadis dan bila aku dalam keduanya tidak mendapatkan jawaban permasalahan tersebut maka aku akan berijtihad.
2.      Firman Allah yang menunjukkan bahwa Allah telah menciptakan syariat dalam masing-masing umat, baik umat Nabi Muhammad atau umat Nabi terdahulu.
3.      Seandainya Nabi, umatnya wajib mengikuti syariat umat terdahulu, niscaya beliau wajib mempelajari syariat tersebut.
4.      Syariat terdahulu adalah khusus bagi umat tertentu, sementara syariat islam adalah syariat umum yang menasakh syariat-syaiat terdahulu.

E.        Kontribusi Syar’u Man Qablana Di Masa Identifikasi Hukum Islam
Sejak syar’u man qablana diangkat ke permukaan untuk selanjutnya dijadikan sebagai metode, maka sebagai sebuah pembatas (takhsis) sekaligus nasikh terhadap syari’at-syari’at terdahulu kontribusi syar’u man qablana bukan merupakan sebuah Kontribusi yang dapat dipandang sebelah mata. Justru dengan adanya metode istinbat seperti ini, umat Islam, terutama pada masa pengidentifikasian hukum Islam masa itu bahkan masyarakat Muslim sekarang memperoleh kepastian hukum dengan cara mengindentifikasi syari’at-syari’at yang dibatalkan dan syari’at-syari’at yang masih berlaku.
Selain itu, terdapat pula kontribusi Syar’u man Qablana dalam bentuk lain yang tampak berlawanan dengan bentuk di atas. Pada bentuk itu, syari’at Islam membatalkan syari’at terdahulu, namun pada bentuk kedua ini justru Nabi Muhammad dan umatnya mewarisi dan melanjutkan apa yang telah ditetapkan oleh umat terdahulu. Di antara warisan hukum itu dapat dilihat pada Q.S. al-baqoroh ayat 183 :
$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)­Gs? ÇÊÑÌÈ  
Artinya  :Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.

                  Berkaitan dengan masalah tersebut, Bazdawi mengatakan bahwa syari’at terdahulu yang tidak ditemukan ketegasan pengamalannya bagi umat Islam adalah tidak berlaku bagi umat Islam sampai ditemukannya dalil yang mewajibkannya. Namun yang populer dari pendapat Bazdawi adalah tentang anggapannya yang menyatakan bahwa ketentuan itu merupakan syari’at karena ia dituliskan kembali dalam Alqur’an, sehingga ia telah menjadi syari’at Muhammad. Hal ini ditanggapi berbeda oleh Hazm yang mengatakan bahwa bentuk syari’at seperti itu hanya merupakan nass atau teks semata yang tidak perlu diamalkan  
Sedangkan Syairazi mengatakan bahwa perbedaan tersebut tampak semakin berkembang dengan adanya 3 kelompok yang berkiprah memberikan pendapat yakni: 1) bukan sebagai syari’at umat Islam, 2) sebagai syari’at Islam, kecuali adanya dalil yang membatalkannya, 3) semua syari’at terdahulu, baik syari’at Ibrahim, syari’at Musa (kecuali yang telah di-naskh oleh syari’at Isa), dan syari’at Isa sendiri adalah syari’at Islam.
Terhadap perbedaan pendapat ini, Asnawi menjelaskan bahwa dalam persoalan tersebut telah ada kesepakatan mayoritas ahli ushul al-fiqh, termasuk di dalam dalamnya Fakhruddin ar-Razi, Saifuddin al-Amidi, Baidawi, dan sebagian ulama Syafi’iyyah yang menyatakan bahwa syari’at umat terdahulu yang tidak ada kepastian untuk umat Muhammad, tidak dipandang sebagai syari’at Islam. Hal yang senada juga terdapat dalam Khallaf (1978: 94) yang mengatakan bahwa syari’at Islam me-naskh syari’at terdahulu, kecuali adanya penegasan bahwa syari’at tersebut berlaku juga bagi umat Islam. Pendapat yang serupa juga dapat ditemukan dalam Zuhaili dengan menambahkan bahwa sebagian ahli ushul al-fiqh mazhab Maliki dan mayoritas ulama ilmu kalam menyatakan penolakannya terhadap syari’at tersebut.

F.        Eksistensi Syar’u Man Qablana dalam Kajian Hukum Islam Sekarang
Penentuan posisi dan eksistensi syar'u man qablana di masa sekarang dinilai sangat penting. Selain untuk mempertahankan kelestarian sebuah metode, juga agar hukum Islam akan dapat berdialog dengan segala perubahan zaman dan peradaban. Mewujudkan cita-cita tersebut tentunya tidak lepas dari pemahaman maqasid al-syari'ah (upaya yang dilakukan untuk memahami tujuan dan maksud Tuhan dan Nabi dalam menetapkan hukum). Adanya pemahaman terhadap maqasid al-syari'ah tentunya untuk mewujudkan kemaslahatan baik di dunia atau pun di akhirat. Bakri mengatakan bahwa kebaikan antara di dunia dan di akhirat tidak berbeda, bahkan dapat berjalan secara bersamaan.
Syar'u man qablana juga tidak terlepas dari maqasid al-syari'ah, karena untuk menentukan apakah konsep atau materi hukum yang ditetapkan bagi umat-umat terdahulu dan juga hukum pada zaman Nabi tampak masih relevan atau tidak dengan perkembangan zaman sekarang diperlukan adanya pemahaman terhadap maqasid al-syari'ah. Dari sini dapat diharapkan syar’u man qablana dapat membuktikan eksistensinya sebagai metode di antara metode-metode lain, karena memang antara satu metode dengan metode lain dalam usul al-fiqh terkadang senapas untuk menyelesaikan setiap persoalan hukum.
Berkaitan dengan masalah maqasid al-syari’ah, penting dicatat perdebatan mengenai qath’i dan zhanni. Menurut Khallaf bahwa dalam Al-qur’an terdapat kategori qath’i dan zhanny. Qath’i adalah suatu lafaz yang mengandung satu interpretasi dan tidak terdapat kemungkinan makna lain selain interpretasi itu sendiri. Sedangkan zhanny adalah kebalikan dari qath’i, yakni lafaz dapat diinterpretasikan kepada berbagai macam interpretasi sesuai dengan kaidah yang berlaku. Selain itu zhanny juga dapat direinterpretasi (takwil) apabila diperlukan.
Berdasarkan pandangan para ahli usul al-fiqh sebagaiman dikemukakan di atas, dapat ditarik suatu pemahaman bahwa semua itu adalah hasil konsentrasi nalar yang dilakukan secara bersungguh-sungguh, yang tentunya kedua pandangan tersebut menginginkan ditemukannya kebenaran.
Telah disebutkan di atas bahwa pola tobat dan penyucian najis di zaman Nabi Musa berbeda dengan zaman Nabi Muhammad. Terjadinya perbedaan syari'at ini disebabkan kurang relevannya syari’at-syari’at para nabi terdahulu jika diterapkan pada zaman Nabi Muhammad. Begitu juga di antara syari’at-syari’at yang berlaku pada masa Nabi Muhammad ada yang kurang relevan lagi untuk dilaksanakan pada zaman sekarang. Dengan demikian, syar’u man qablanâ pada masa Nabi Muhammad adalah syari’at umat terdahulu, sedangkan syar’u man qablanâ bagi umat Islam sekarang ini adalah syari’at yang berlaku pada masa Nabi Muhammad. Syari’at yang berlaku sekarang disebut sebagai syar’un lanâ.



























BAB III
PENUTUP

A.       Kesimpulan
Dari uraian di atas nampak bagi kita akan esensi syariat umat terdahulu, yang mana kandungannya ada yang menyocoki dan diakui oleh al-Qur’an dan al-Sunnah syariat kita dan ada juga yang menyalahi.
Syar’u Man Qablana adalah setiap hukum yang disyari’atkan Allah pada umat-umat terdahulu melalui pelantara setiap rasul, Nabi SAW megikuti syariat Nabi Ibrahim AS sbelum mendapat kitab al-Qur’an.
Hakikat syar’u man qablana pada intinya adalah adanya upaya dalam memahami syari’at-syari'at terdahulu sebelum syari’at Nabi Muhammad (Islam), syari’at Nabi Muhammad adalah penutup segala syari’at yang diturunkan Tuhan. Syar’u Man Qablana  ada tiga macam bentuknya, yang di nasakh, yang di lanjutkan dan yang di biarkan saja. Ada beberapa pandangan dalam memahami syar'u man qablana. Ada yang memahaminya sebagai pembatas (takhsis), nasikh dan bahkan sebagai metode, tetapi semua ini berkaitan dengan keberlakuan syari'at umat terdahulu, apakah ia masih berlaku atau sudah dibatalkan berdasarkan dalil normatif dalam Alqur’an yang secara tegas menyebutkan hal tersebut. Selain itu, ada juga ketentuan syar'u man qablana yang ditulis kembali dalam Alqur’an tetapi tidak ditemukan ayat lain yang memberlakukan atau membatalkannya. Terhadap permasalahan ini, terjadi perbedaan pandangan, ada yang memandang hal tersebut sebagai syari'at Islam ada pula yang memandang sebaliknya.
Kini syar'u man qablana akan lebih tepat jika dikontekstualisasikan dengan perkembangan zaman sekarang, tentunya semuanya itu berdiri di atas kemaslahatan umat muslim secara keseluruhan dan ditopang oleh pemahaman terhadap maqashid al-syari'ah guna memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Aplikasi dari kontekstualisasi syar'u man qablana adalah dengan cara memposisikan kembali syar'u man qablana sebagai sebuah metode dengan teknik bahwa syari'at-syari'at Nabi Muhammad dipandang sebagai syar'u man qablana bagi umat Muslim yang hidup di zaman sekarang. Di antara syari'at-syari'at tersebut ada yang masih berlaku, ada pula yang tidak berlaku. Upaya ini dilakukan tidak dengan cara mengganti teks-teks normatif, melainkan hukum yang terkandung dalam teks normatif tersebut dikontekstualisasikan dengan zaman sekarang.

DAFTAR PUSTAKA


Al-Quran dan Terjemahannya, Jakarta, DEPAG, 2007. Bazdawi, Ali bin Muhammad. t.t. Ushûl Bazdawî: Kanzû al-Wushûl ilâ Ma'rifati al-Ushûl, Karatisy: Jawid Baris
Bakri, Asafri Jaya. 1996. Konsep Maqashid Syari'ah Menurut al-Syathibi, Jakarta: Raja Grafindo Persada
Cholil, Harisuddin, M. Ag. 2003. Ushul Fiqh I. Nganjuk: STAIM Press
Hanafie . A . 1993 . Ushul Fiqh . Jakarta : Widjaya Kusuma
Zuhaily, Wahbah. 2001. Ushûl al-Fiqh al-Islâmy, Jilid 1 dan 2, Syuriah: Dâr al-Fikr

Tidak ada komentar:

Posting Komentar