BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebelum datangnya
agama Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW, terlebih dahulu datang
agama-agama lain yang bibawa oleh nabi-nabi sebelumnya, seperti nabi Ibrahim,
nabi Daud, nabi Musa dan nabi Isa beserta syari’at atau hukum-hukum yang
mengatur kehidupan pada masa itu.
Telah diketahui bahwa syar’u man qablana adalah
salah satu dari sekian banyak metode istinbat (penggalian) hukum Islam,
walaupun tampak adanya warna-warna yang mengindikasikan syar’u man qablana hanya sebagai penguat teks-teks keagamaan
dan bukan dijadikan sebagai petunjuk untuk menggali hukum, namun seringkali ia
tetap dijadikan sebagai metode. Berkaitan dengan hal tersebut, para ahli ushul
al-fiqh menggunakan syar’u man qablana untuk membedakan antara syari’at atau
hukum sebelum Nabi Muhammad menjadi seorang rasul dan hukum di saat ia diutus
sebagai rasul. Namun demikian, tampaknya para ahli uhsul al-fiqh memiliki
perspektif yang berbeda dalam memandang syar’u man qablana. Perbedaan tersebut
tampak ketika mereka membahas keterikatan Nabi Muhammad setelah menjadi Nabi
dan pengikutnya terhadap syari’at-syari’at sebelumnya.
Sumber dan dalil hukum Islam dikelompokkan menjadi
dua yaitu yang disepakati dan yang masih dipeselisihkan oleh para ulama. Adapun
yang telah disepakati adalah Al -Quran dan Sunnah, serta Ijma’ dan Qiyas
(aplikasi keduanya tetap berpedoman pada Al-Quran dan Sunnah). Sedangkan 7
dalil hukum islam yang masih menjadi perselisihan antar ulama yaitu: Marsalah
Mursalah, Istihsan, Saddus Zari’ah, ‘Urf, Istishab, Mazhab Shahabi, dan Syar’u
Man Qablana.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud
Syar’u man qoblana?
2. Bagaimana bentuk
dan hukum yang berlaku bagi syar’u man qoblana?
3. Bagaimana kita
harus menyikapi hal tersebut?
BAB I
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Syar’u Man Qablana
Secara etimologis, syar’u man qablana adalah
hukum-hukum yang disyariatkan oleh Allah SWT, bagi umat-umat sebelum kita.
Secara istilah, syar’u man qablana yaitu syari’at atau ajaran nabi-nabi sebelum
Islam yang berhubungan dengan hukum, seperti syari’at nabi Ibrahim, Nabi Musa,
Nabi Isa. Apakah syariat-syariat yang diturunkan kepada mereka itu berlaku pula
bagi umat Nabi Muhammad Saw.
Para ulama ushul Fiqih sepakat bahwa syariat
para Nabi terdahulu yang tidak tercantum dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw,
tidak berlaku lagi bagi umat Islam. Karena kedatangan syariat Islam telah
mengakhiri berlakunya syariat terdahulu. Para ulama juga sepakat bahwa syariat
sebelum Islam yang dicantumkan dalam al-Quran adalah berlaku bagi umat jika ada
ketegasan bahwa syariat itu berlaku bagi umat Nabi Muhammad Saw. Dasar pendapat mereka ialah :
a.
Firman Allah pada surat al –an’am ayat 90 :
y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# yyd ª!$# ( ãNßg1yßgÎ6sù ÷nÏtFø%$# 3 @è% Hw öNä3è=t«ór& Ïmøn=tã #·ô_r& ( ÷bÎ) uqèd wÎ) 3tø.Ï úüÏJn=»yèù=Ï9 ÇÒÉÈ
Artinya
: mereka Itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, Maka
ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu
dalam menyampaikan (Al-Quran)." Al-Quran itu tidak lain hanyalah
peringatan untuk seluruh ummat.
b.
Firman Allah pada surat an –nahl ayat 123:
§NèO !$uZøym÷rr& y7øs9Î) Èbr& ôìÎ7¨?$# s'©#ÏB zOÏdºtö/Î) $ZÿÏZym ( $tBur tb%x. z`ÏB tûüÅ2Îô³ßJø9$# ÇÊËÌÈ
Artinya : Kemudian Kami wahyukan kepadamu
(Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah
Dia Termasuk orang-orang yang mempersekutukan tuhan.
Sedangkan
para ulma ushul fiqih sepakat bahwa syri’at sebelum kita (Islam) yang
dicantumkan didalam al-qur’an adalah berlaku bagi umat islam apabila ada ketegasan bahwa Syari’at itu berlaku bagi umat nabi Muhammad
SAW. Namun karena berlakunya
itu bukan karena kedudukannya
sebagai syari’at sebelum Islam tetapi karena ditetapkan dalam al-qur’an. Misalnya puasa ramadhan yang
diwajibkan kepada umat islam adalah syari’at sebelum islam.
B. Ibadah Nabi Muhammad
Sebelum Diutus
Terkait dengan ketika nabi belum mendapat kitab Al-Quran,
beliau beribadah mengikut syari’at siapa, maka ulama berbeda pendapat, ada yang
mengatakan bahwa beliau sebelum diutus mengikuti mengikuti syari’at nabi
sebelumnya, yaitu sebagian kalangan Malikiyah, penetap ini masih berbeda juga
dalam menentukan syari’at yang diikuti beliau tersebut.
a.
Syari’at Nabi Adam AS sebagai syariat pertama.
b.
Syari’at Nabi Nuh AS, dengan landasan firman Allah :
شرع لكم من الدين ما وصى به نوحا
c.
Syari’at Nabi Ibrahim AS dengan dua firman Allah :
“إن أولى الناس
أولى الناس بابراهيم للذين اتبعوه وهذا النبي" أن اتبع ملة
إبراهيم حنيفا
d.
Syari’at Nabi Musa AS.
e.
Syari’at Nabi Isa AS, dengan alasan bahwa Nabi Isa adalah nabi yang jarak
terutusnya paling dekat dengan Nabi Muhammad.
Dan dari sekian pendapat di
atas Imam Syaukani mengatakan bahwa yang lebih mendekati kebenaran adalah yang
mengatakan bahwa Nabi SAW megikuti syariat Nabi Ibrahim AS, ada juga yang
mengatakan bahwa sebelum terutus beliau tidak mengikuti syariat siapapun, ini
menurut sebagian kalangan Hanafiyah, Hanabbilah, Ibnu Hajib dan al-Baidhowi.
Dan ada sebagian lain yang tidak mau komentar, seperti al-Amudi, Qadi abdul
Jabbar dan al-Ghazali, mereka berpandangan bahwa beliau memang bersyariat,
namun mungkin tanpa mengikuti syariat Nabi sebelumnya. Al-Qodhy. mengatakan
bahwa ulama Mutakallimin telah sampai pada sebuah kesimpulan bahwa Nabi
Muhammad SAW sebelum terutus tidak mengikuti syariat siapapun. Golongan
Mu’tazilah juga mengatakan bahwa secara akal dapat tergambar dibenak kita bahwa
Nabi mengikuti syariat nabi-nabi sebelumnya namun mustahil secara kenyataan.
C. Hakikat Syar’u Man Qablana
Istilah
syar’u man qablana lebih berorientasi untuk menunjukkan adanya
syari’at-syari’at sebelum Islam sebagai agama ketika dilahirkan. Imam
al-Ghazali mengatakan bahwa hakikat syar’u man qablana pada intinya adalah
adanya upaya dalam memahami syari’at-syari'at terdahulu sebelum syari’at Nabi
Muhammad (Islam). Khallaf menyebutkan bahwa sya’u man qablana adalah
berhubungan dengan “mâ syara‘aha Allah liman sabaqana min al-umam” (syari’at
yang telah diturunkan Tuhan kepada orang-orang yang telah mendahului kita
(hukum-hukum para Nabi terdahulu).
Berkaitan
dengan posisi syar’u man qablana, Zuhaili menyatakan bahwa dengan diutusnya
Muhammad sebagai nabi pada tahun 611 Masehi, maka sejak itu pula bahwa syari’at
Nabi Muhammad adalah penutup segala syari’at yang diturunkan Tuhan. Kendati
demikian, Zuhaili juga mengatakan bahwa keadaan seperti itu masih menimbulkan
berbagai pertanyaan di kalangan para ahli usul al-fiqh, khususnya berkaitan
dengan keterikatan Nabi Muhammad secara pribadi dengan syari’at sebelumnya dan
sesudah ia menjadi Nabi, termasuk pula di dalamnya pengikut-pengikut Nabi
Muhammad sampai sekarang.
D. Macam-macam syar’u Man Qoblana
Syar’u Man Qablana dibagi menjadi dua bagian.
Pertama, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam
al-Qur’an dan Sunnah. Ulama’ sepakat bahwa macam pertama ini jelas tidak
termasuk syariat kita. Kedua, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun
disebutkan dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Pembagian kedua ini diklasifikasi menjadi tiga.
Dinasakh syariat kita (syariat
islam). Tidak termasuk syariat kita menurut kesepakatan semua ulama. Contoh :
Pada syari’at nabi Musa As. Pakaian yang terkena najis tidak suci. Kecuali
dipotong apa yang kena najis itu.
1.
Dianggap syariat kita melalui al-Qur’an dan al-Sunnah. Ini
termasuk syariat kita atas kesepakatan ulama. Contoh : Perintah menjalankan
puasa.
2.
Tidak ada penegasan dari syariat kita apakah dinasakh atau
dianggap sebagai syariat kita. Pembagian ketiga inilah yang menjadi inti pokok
pembahasan dalil syara’ ini (Syar’u Man Qablana) :
a.
Yang diberitakan kepada kita baik melalui al-Qur’an atau
as-Sunnah, tetapi tidak tegas diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan
kepada umat sebelum kita.
b.
Yang tidak disebut-sebut oleh syari’at kita.
Ada beberapa dalil yang dibuat tendensi mereka, para ulama’ yang
menganggap bahwasyariat umat sebelum kita adalah syariat kita :
1.
Syariat umat sebelum kita
adalah syariat Allah yang tidak ditegaskan kalau saja telah dinasakh, karena
itu kita dituntut mengikutinya serta mengamalkan berdasarkan firman Allah dalam
suratal-An’am ayat 90, al-Nahl ayat 123, dan surat al-Syura ayat, 13. Disebutkan
juga bahwa Ibnu Abbas pernah melakukan Sujud Tilawah ketika membaca salah satu
ayat al-Quran dalam surat shod (ص) ayat 24.
2.
Kewajiban menqadho’i shalat Fardhu berdasarkan hadis nabi ”Barangsiapa yang
tertidur atau lupa melakukan shalat maka Qadho’ilah kalau nanti sudah ingat”
dan ayat ”Kerjakanlah shalat untuk mengingatku” yang disebutkan oleh Nabi
secara berurutan dengan hadis di atas. Ayat ini ditujukan pada Nabi Musa AS,
karena itu seandainya Nabi tidak dituntut untuk mengikuti syariat Nabi
sebelumnya niscaya penyebutan ayat di atas tidak dapat memberikan faidah.
3.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum-hukum syariat nabi
terdahulu yang tercantum dalam al-Quran, tetapi tidak ada ketegasan bahwa
hukum-hukum itu masih berlaku bagi umat Islam dan tidak ada pula penjelasan
yang membatalkannya.
Misal: hukuman qishahs dalam
syariat Nabi Musa dalam QS. Al-Maidah: 45
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ
النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالأنْفَ بِالأنْفِ وَالأذُنَ
بِالأذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ
فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ
هُمُ الظَّالِمُونَ
Dari sekian banyak bentuk qishash dalam ayat tsb, yang ada ketegasan berlakunya bagi umat Islam hanyalah qishash karena pembunuhan. QS. Al-Baqarah: 178
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأنْثَى بِالأنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Ada empat dalil yang juga dipakai oleh mereka yang mengingkari syariat umat sebelum kita sebagai syariat kita, yaitu :
1.
Ketika Nabi mengutus Muadz Bin Jabal ke Yaman beliau menanyainya
tentang apa yang akan Muadz jadikan dalil ketika mau menghukumi suatu masalah.
Sahabat Muadz menjawab “aku akan memakai al-Quran dan hadis dan bila aku dalam
keduanya tidak mendapatkan jawaban permasalahan tersebut maka aku akan
berijtihad.
2.
Firman Allah yang menunjukkan bahwa Allah telah menciptakan
syariat dalam masing-masing umat, baik umat Nabi Muhammad atau umat Nabi
terdahulu.
3.
Seandainya Nabi, umatnya wajib mengikuti syariat umat terdahulu,
niscaya beliau wajib mempelajari syariat tersebut.
4.
Syariat terdahulu adalah khusus bagi umat tertentu, sementara
syariat islam adalah syariat umum yang menasakh syariat-syaiat terdahulu.
E. Kontribusi
Syar’u Man Qablana Di Masa Identifikasi Hukum Islam
Sejak syar’u man
qablana diangkat ke permukaan untuk selanjutnya dijadikan sebagai metode, maka
sebagai sebuah pembatas (takhsis) sekaligus nasikh terhadap syari’at-syari’at
terdahulu kontribusi syar’u man qablana bukan merupakan sebuah Kontribusi yang
dapat dipandang sebelah mata. Justru dengan adanya metode istinbat seperti ini,
umat Islam, terutama pada masa pengidentifikasian hukum Islam masa itu bahkan
masyarakat Muslim sekarang memperoleh kepastian hukum dengan cara
mengindentifikasi syari’at-syari’at yang dibatalkan dan syari’at-syari’at yang
masih berlaku.
Selain itu, terdapat
pula kontribusi Syar’u man Qablana dalam bentuk lain yang tampak berlawanan
dengan bentuk di atas. Pada bentuk itu, syari’at Islam membatalkan syari’at
terdahulu, namun pada bentuk kedua ini justru Nabi Muhammad dan umatnya
mewarisi dan melanjutkan apa yang telah ditetapkan oleh umat terdahulu. Di
antara warisan hukum itu dapat dilihat pada Q.S. al-baqoroh ayat 183 :
$ygr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$#
$yJx.
|=ÏGä. n?tã
úïÏ%©!$#
`ÏB
öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)Gs?
ÇÊÑÌÈ
Artinya :Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
Berkaitan dengan
masalah tersebut, Bazdawi mengatakan bahwa syari’at terdahulu yang tidak
ditemukan ketegasan pengamalannya bagi umat Islam adalah tidak berlaku bagi
umat Islam sampai ditemukannya dalil yang mewajibkannya. Namun yang populer
dari pendapat Bazdawi adalah tentang anggapannya yang menyatakan bahwa
ketentuan itu merupakan syari’at karena ia dituliskan kembali dalam Alqur’an,
sehingga ia telah menjadi syari’at Muhammad. Hal ini ditanggapi berbeda oleh
Hazm yang mengatakan bahwa bentuk syari’at seperti itu hanya merupakan nass
atau teks semata yang tidak perlu diamalkan
Sedangkan Syairazi
mengatakan bahwa perbedaan tersebut tampak semakin berkembang dengan adanya 3
kelompok yang berkiprah memberikan pendapat yakni: 1) bukan sebagai syari’at
umat Islam, 2) sebagai syari’at Islam, kecuali adanya dalil yang
membatalkannya, 3) semua syari’at terdahulu, baik syari’at Ibrahim, syari’at
Musa (kecuali yang telah di-naskh oleh syari’at Isa), dan syari’at Isa sendiri
adalah syari’at Islam.
Terhadap perbedaan
pendapat ini, Asnawi menjelaskan bahwa dalam persoalan tersebut telah ada
kesepakatan mayoritas ahli ushul al-fiqh, termasuk di dalam dalamnya Fakhruddin
ar-Razi, Saifuddin al-Amidi, Baidawi, dan sebagian ulama Syafi’iyyah yang
menyatakan bahwa syari’at umat terdahulu yang tidak ada kepastian untuk umat
Muhammad, tidak dipandang sebagai syari’at Islam. Hal yang senada juga terdapat
dalam Khallaf (1978: 94) yang mengatakan bahwa syari’at Islam me-naskh syari’at
terdahulu, kecuali adanya penegasan bahwa syari’at tersebut berlaku juga bagi
umat Islam. Pendapat yang serupa juga dapat ditemukan dalam Zuhaili dengan
menambahkan bahwa sebagian ahli ushul al-fiqh mazhab Maliki dan mayoritas ulama
ilmu kalam menyatakan penolakannya terhadap syari’at tersebut.
F. Eksistensi
Syar’u Man Qablana dalam Kajian Hukum Islam Sekarang
Penentuan posisi dan
eksistensi syar'u man qablana di masa sekarang dinilai sangat penting. Selain
untuk mempertahankan kelestarian sebuah metode, juga agar hukum Islam akan
dapat berdialog dengan segala perubahan zaman dan peradaban. Mewujudkan
cita-cita tersebut tentunya tidak lepas dari pemahaman maqasid al-syari'ah
(upaya yang dilakukan untuk memahami tujuan dan maksud Tuhan dan Nabi dalam
menetapkan hukum). Adanya pemahaman terhadap maqasid al-syari'ah tentunya untuk
mewujudkan kemaslahatan baik di dunia atau pun di akhirat. Bakri mengatakan
bahwa kebaikan antara di dunia dan di akhirat tidak berbeda, bahkan dapat
berjalan secara bersamaan.
Syar'u man qablana
juga tidak terlepas dari maqasid al-syari'ah, karena untuk menentukan apakah
konsep atau materi hukum yang ditetapkan bagi umat-umat terdahulu dan juga
hukum pada zaman Nabi tampak masih relevan atau tidak dengan perkembangan zaman
sekarang diperlukan adanya pemahaman terhadap maqasid al-syari'ah. Dari sini
dapat diharapkan syar’u man qablana dapat membuktikan eksistensinya sebagai
metode di antara metode-metode lain, karena memang antara satu metode dengan
metode lain dalam usul al-fiqh terkadang senapas untuk menyelesaikan setiap
persoalan hukum.
Berkaitan dengan
masalah maqasid al-syari’ah, penting dicatat perdebatan mengenai qath’i dan
zhanni. Menurut Khallaf bahwa dalam Al-qur’an terdapat kategori qath’i dan
zhanny. Qath’i adalah suatu lafaz yang mengandung satu interpretasi dan tidak
terdapat kemungkinan makna lain selain interpretasi itu sendiri. Sedangkan
zhanny adalah kebalikan dari qath’i, yakni lafaz dapat diinterpretasikan kepada
berbagai macam interpretasi sesuai dengan kaidah yang berlaku. Selain itu zhanny
juga dapat direinterpretasi (takwil) apabila diperlukan.
Berdasarkan pandangan
para ahli usul al-fiqh sebagaiman dikemukakan di atas, dapat ditarik suatu
pemahaman bahwa semua itu adalah hasil konsentrasi nalar yang dilakukan secara
bersungguh-sungguh, yang tentunya kedua pandangan tersebut menginginkan ditemukannya
kebenaran.
Telah disebutkan di
atas bahwa pola tobat dan penyucian najis di zaman Nabi Musa berbeda dengan
zaman Nabi Muhammad. Terjadinya perbedaan syari'at ini disebabkan kurang
relevannya syari’at-syari’at para nabi terdahulu jika diterapkan pada zaman
Nabi Muhammad. Begitu juga di antara syari’at-syari’at yang berlaku pada masa
Nabi Muhammad ada yang kurang relevan lagi untuk dilaksanakan pada zaman
sekarang. Dengan demikian, syar’u man qablanâ pada masa Nabi Muhammad adalah
syari’at umat terdahulu, sedangkan syar’u man qablanâ bagi umat Islam sekarang
ini adalah syari’at yang berlaku pada masa Nabi Muhammad. Syari’at yang berlaku
sekarang disebut sebagai syar’un lanâ.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas
nampak bagi kita akan esensi syariat umat terdahulu, yang mana kandungannya ada
yang menyocoki dan diakui oleh al-Qur’an dan al-Sunnah syariat kita dan ada
juga yang menyalahi.
Syar’u Man Qablana
adalah setiap hukum yang disyari’atkan Allah pada umat-umat terdahulu melalui
pelantara setiap rasul, Nabi SAW megikuti syariat Nabi Ibrahim AS sbelum
mendapat kitab al-Qur’an.
Hakikat syar’u man
qablana pada intinya adalah adanya upaya dalam memahami syari’at-syari'at
terdahulu sebelum syari’at Nabi Muhammad (Islam), syari’at Nabi Muhammad adalah
penutup segala syari’at yang diturunkan Tuhan. Syar’u Man Qablana ada tiga macam bentuknya, yang di nasakh,
yang di lanjutkan dan yang di biarkan saja. Ada beberapa pandangan dalam
memahami syar'u man qablana. Ada yang memahaminya sebagai pembatas (takhsis),
nasikh dan bahkan sebagai metode, tetapi semua ini berkaitan dengan keberlakuan
syari'at umat terdahulu, apakah ia masih berlaku atau sudah dibatalkan
berdasarkan dalil normatif dalam Alqur’an yang secara tegas menyebutkan hal
tersebut. Selain itu, ada juga ketentuan syar'u man qablana yang ditulis
kembali dalam Alqur’an tetapi tidak ditemukan ayat lain yang memberlakukan atau
membatalkannya. Terhadap permasalahan ini, terjadi perbedaan pandangan, ada
yang memandang hal tersebut sebagai syari'at Islam ada pula yang memandang
sebaliknya.
Kini syar'u man
qablana akan lebih tepat jika dikontekstualisasikan dengan perkembangan zaman
sekarang, tentunya semuanya itu berdiri di atas kemaslahatan umat muslim secara
keseluruhan dan ditopang oleh pemahaman terhadap maqashid al-syari'ah guna
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Aplikasi dari
kontekstualisasi syar'u man qablana adalah dengan cara memposisikan kembali
syar'u man qablana sebagai sebuah metode dengan teknik bahwa syari'at-syari'at
Nabi Muhammad dipandang sebagai syar'u man qablana bagi umat Muslim yang hidup
di zaman sekarang. Di antara syari'at-syari'at tersebut ada yang masih berlaku,
ada pula yang tidak berlaku. Upaya ini dilakukan tidak dengan cara mengganti
teks-teks normatif, melainkan hukum yang terkandung dalam teks normatif
tersebut dikontekstualisasikan dengan zaman sekarang.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Quran dan
Terjemahannya, Jakarta, DEPAG, 2007. Bazdawi, Ali bin Muhammad. t.t. Ushûl
Bazdawî: Kanzû al-Wushûl ilâ Ma'rifati al-Ushûl, Karatisy: Jawid Baris
Bakri, Asafri Jaya.
1996. Konsep Maqashid Syari'ah Menurut al-Syathibi, Jakarta: Raja Grafindo
Persada
Cholil, Harisuddin, M. Ag. 2003. Ushul Fiqh I.
Nganjuk: STAIM Press
Hanafie . A . 1993 . Ushul Fiqh . Jakarta : Widjaya
Kusuma
Zuhaily, Wahbah. 2001. Ushûl al-Fiqh al-Islâmy,
Jilid 1 dan 2, Syuriah: Dâr al-Fikr
Tidak ada komentar:
Posting Komentar